Mbah Ngatijo sejenak beranjak menuju gudang, memilah-milah puluhan garpu depan aneka merek sepeda kuno yang ditumpuk di sudut gudang. Tak berapa lama, tangannya mengangkat barang dimaksud yang sudah kusam dan karatan di sana-sini.
Si Mbah lalu beranjak lagi ke ruangan depan, tempat teronggok Burgers, sepeda tua buatan Belanda tahun 1930, milik pelanggannya. Dia lantas menjelaskan bentuk dan lekukan khas garpu depan sepeda itu, dan betapa nyaman jika garpu depan itu, dijodohkan dengan sepeda yang sama-sama berkarat tersebut.
Lelaki ini lalu bercerita lagi ciri khas Burgers, seperti stang yang melengkung dan tuas rem yang berbentuk melingkar. Tak hanya bercerita, ia pun menggambarkannya di tanah. Di sela-sela bercerita, sadel dan rangka sepeda tua itu ditepuk-tepuk.
Begitulah Mbah Ngatijo. Bagi para onthelist (penggemar dan pemakai sepeda onthel), sosok ini adalah sesepuh. Ilmu per-onthel-an dia jelas sudah mengakar. Berani taruhan, simbah ini hapal dan paham lekukan tiap merek pit onthel, baik itu bikinan Belanda, Inggris, Jepang, India, hingga sepeda-sepeda lokal.
"Saya bisa hapal sepeda-sepeda itu karena sudah mbengkel sejak tahun 1968. Dulu, adanya kan hanya sepeda onthel. Belum ada sepeda gunung seperti sekarang. Tahun 1970-an, onthel mulai ada pesaing yakni sepeda jengki, tapi bertahan. Baru tahun 1980-an, onthel meredup seiring masuknya sepeda gunung," katanya.
Sejak kecil, orang ini sudah kenal onthel. Menginjak remaja, dia membantu sang kakak yang membuka bengkel sepeda di Sedayu, Bantul. Tahun 1968, Ngatijo memberanikan diri membuka bengkel di Bayeman, Jalan Wates Km 3,5, tempat yang sama dengan lokasi bengkelnya sekarang.
Bukan semata urusan teori yang membuat Ngatijo dituju, namun karena usaha bengkelnya. Mengapa? Jika ada kalimat yang tepat, Ngatijo ini memang murni tukang sepeda. Maksudnya? "Sepeda yang masuk, akan saya servis sehingga saat diambil, kondisi nya jauh lebih baik. Saya nggak mau nuthuk (cari untung secara ngawur) atau memanfaatkan ketidaktahuan pelanggan akan sepedanya sendiri. Mungkin itu yang membuat pelanggan datang ke saya," ucapnya.
Prinsip itu dipegang teguh oleh bapak empat putra ini. Jika menjual sepeda, ia memakai harga wajar. Untuk menganalisa sepeda, jika kondisinya jelek, maka akan dikatakan jelek. Jika bagus, dikatakan bagus. Ia tak mau menipu pelanggannya. Tentang tarif murah, selain karena memang tak mau dicap sebagai tukang sepeda yang melulu cari duit, Ngatidjo punya alasan lain yang menarik.
"Yang datang kemari, banyak petani, penjual krupuk, penjual sayur, dan para pedagang kecil. Sebagian dari mereka, teman-teman saya yang sebagian juga sudah saya kenal sejak kecil dan remaja. Nggak sampai hati mematok harga tinggi. Sehingga jika sekadar mengisi angin ban, mengencangkan baut-baut, ya nggak usah bayar," kata Mbah Ngatijo yang juga bisa membuat pit onthel dengan harga Rp 1,5-an juta ini.
Prinsip tak mau aji mumpung pada pelanggan ditekankan keras pada dua anak lelakinya yang kini membantu dan kelak menjadi penerusnya. "Bapak mendapat kemurahan dari Tuhan sehingga bengkel bapak ini akhirnya punya nama. Ini bengkel yang jujur, maka kalian harus jujur sampai kapan pun. Jika jujur, pelanggan akan mencintai. Jika mau membagi ilmu, ilmu kita akan bertambah. Mbengkel itu sama dengan ibadah," begitu ucap Mbah Ngatijo yang masih sering dilontarkan kepada dua anaknya.
Powered by Qumana
Ya segala sesuatu musti jujur...
ReplyDeletesalam knal dan terimakasih atas info dan artikelnya..
mampir ya..
segala sesuatu yang baik dan dikerjakan dengan baik adalah ibadah, itulah Islam :)
ReplyDelete